Seseorang dikatakan
telah belajar sesuatu apabila
terjadi perubahan tertentu, misalnya dari tidak dapat
menghitung menjadi dapat menghitung. Slameto (1995: 2)
menjelaskan, “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Selanjutnya menurut
Gagne (Dahar, 1996: 11) menyatakan, “Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses
dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Kemudian Usman (1990: 2) menyatakan, “Belajar diartikan sebagai perubahan
tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan
individu dan individu dengan lingkungannya”.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh
Usman bahwa dalam belajar terdapat suatu perubahan-perubahan tingkah laku.
Perubahan tersebut terjadi secara sadar, bersifat kontinyu, positif dan aktif,
bersifat tetap serta mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 1995: 3).
Dalam kaitan dengan pengertian belajar, Suparyanti (1992: 3) menjelaskan
beberapa ciri dari belajar, sebagai berikut,
a. Belajar adalah
aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik
aktual maupun potensial.
b. Perubahan itu pada
dasarnya berupa kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
c. Perubahan itu
terjadi karena usaha.
Sedangkan Sukmadinata (1999: 144)
mengemukakan sebagai berikut,
Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga
proses. Pertama, proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk
melengkapi atau menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan
pengetahuan yang telah ada. Kedua, transformasi yaitu proses
memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas yang baru. Ketiga,
proses evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat
menjalankan tugas mencapai sasaran.
2.1.1 Pengertian
Pembelajaran
Berbicara
tentang belajar, maka tidak lepas dari proses pembelajaran. Dalam hal ini
Hamalik (1995: 57) menjelaskan, “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.” Lebih
lanjut lagi Hamalik (1995: 58) mengemukakan sebagai berikut,
1. Pembelajaran
adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik/siswa
2. Pembelajaran
adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan
sekolah
3. Pembelajaran
adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi
peserta didik
4. Pembelajaran
adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga masyarakat yang
baik
5. Pembelajaran
adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan pemahaman tetang belajar dan
pembelajaran. Belajar diartikan sebagai usaha yang dilakukan seorang individu
dalam memperoleh perubahan perilaku, sedangkan pembelajaran adalah upaya yang dilakukan
orang lain terhadap seorang individu dengan memberikan informasi dan
pengetahuan.
2.2
Model Pembelajaran
2.2.1
Pengertian Model Pembelajaran
Istilah model
pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran dan dibedakan dari
istilah strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Istilah model
pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi,
metode, dan teknik. Sedangkan istilah “strategi “ awal mulanya dikenal dalam
dunia militer terutama terkait dengan perang atau dunia olah raga, namun
demikian makna tersebut meluas tidak hanya ada pada dunia militer atau olahraga
saja akan tetapi bidang ekonomi, sosial, pendidikan. Menurut Ruseffendi (1980),
istilah strategi, metode, pendekatan dan teknik mendefinisikan sebagai
berikut:
1
Strategi pembelajaran adalah separangkat
kebijaksanaan yang terpilih, yang telah dikaitkan dengan faktor yang menetukan
warna atau strategi tersebut, yaitu :
a. Pemilihan materi
pelajaran (guru atau siswa)
b. Penyaji materi pelajaran (perorangan
atau kelompok, atau belajar mandiri)
c. Cara menyajikan materi
pelajaran (induktif atau deduktif, analitis atau sintesis, formal atau non
formal)
d. Sasaran penerima materi pelajaran ( kelompok, perorangan,
heterogen, atau homogen.
1.
Pendekatan Pembelajaran adalah jalan atau
arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran dilihat bagaimana materi itu disajikan.
Misalnya memahami suatu prinsip dengan pendekatan induktif atau deduktif.
2.
Metode Pembelajaran adalah cara mengajar secara umum yang dapat
diterapkan pada semua mata pelajaran, misalnya mengajar dengan ceramah,
ekspositori, tanya jawab, penemuan terbimbing dan sebagainya.
3.
Teknik mengajar adalah penerapan secara khusus
suatu metode pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan
guru, ketersediaan media pembelajaran serta kesiapan siswa. Misalnya teknik
mengajarkan perkalian dengan penjumlahan berulang.
Sedangkan
Model Pembelajaran adalah sebagai
suatu disain yang menggambakan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan
yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan
pada diri siswa (Didang : 2005)
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 203),
pengertian strategi (1) ilmu dan seni menggunakan sumber daya
bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam dan perang damai, (2)
rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.
Soedjadi
(1999 :101) menyebutkan strategi pembelajaran adalah suatu siasat
melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah keadaan pembelajaran
menjadi pembelajaran yang diharapkan. Untuk dapat mengubah keadaan itu dapat
ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Lebih lanjut Soedjadi
menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan lebih dari satu metode
dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu teknik. Secara sederhana
dapat dirunut sebagai rangkaian :
teknik
metode
pendekatan
strategi
model
Istilah “ model pembelajaran” berbeda dengan strategi pembelajaran,
metode pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran. Model pembelajaran meliputi
suatu model pembelajaran yang luas dan menyuluruh. Konsep model pembelajaran
lahir dan berkembang dari pakar psikologi dengan pendekatan dalam setting
eksperimen yang dilakukan. Konsep model pembelajaran untuk pertama kalinya
dikembangkan oleh Bruce dan koleganya (Joyce, Weil dan Showers, 1992)
Lebih lanjut Ismail (2003)
menyatakan istilah Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang
tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu :
1. rasional teoritik
yang logis disusun oleh perancangnya,
2. tujuan
pembelajaran yang akan dicapai,
3. tingkah laku
mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil
dan
4. lingkungan
belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Berbedanya
pengertian antara model, strategi, pendekatan dan metode serta teknik
diharapkan guru mata pelajaran umumnya dan khususnya matematika mampu memilih
model dan mempunyai strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi dan standar
kompetensi serta kompetensi dasar dalam standar isi.
2.2.2 Pemilihan Model Pembelajaran
Dalam pembelajaran guru diharapkan
mampu memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang
diajarkan. Dimana dalam pemilihan Model pembelajaran meliputi pendekatan
suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Misalnya pada model
pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok-kelompok kecil siswa bekerja sama
memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru. Ketika guru
sedang menerapkan model pembelajaran tersebut, seringkali siswa menggunakan
bermacam-macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir kritis.
Model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis.
Pada model ini pembelajaran dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang
penyelesaiannya membutuhkan kerjasama diantara siswa-siswa. Dalam model
pembelajaran ini guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah
menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan
keterampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat
diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi
pada upaya penyelidikan oleh siswa.
Tiap-tiap model
pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit
berbeda. Misalnya, model pembelajaran kooperatif memerlukan lingkungan belajar
yang fleksibel seperti tersedia meja dan kursi yang mudah dipindahkan. Pada
model pembelajaran diskusi para siswa duduk dibangku yang disusun secara
melingkar atau seperti tapal kuda. Sedangkan model pembelajaran langsung siswa
duduk berhadap-hadapan dengan guru.
Pemilihan model dan metode
pembelajaran menyangkut strategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran
adalah perencanaan dan tindakan yang tepat dan cermat mengenai kegiatan
pembelajaran agar kompetensi dasar dan indikator pembelajarannya dapat
tercapai. Pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap
kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar
terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan
siswa. Di madrasah, tindakan pembelajaran ini dilakukan nara sumber (guru)
terhadap peserta didiknya (siswa). Jadi, pada prinsipnya strategi pembelajaran
sangat terkait dengan pemilihan model dan metode pembelajaran yang dilakukan
guru dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada para siswanya.
Model pembelajaran yang dapat
diterapkan oleh para guru sangat beragam. Model pembelajaran adalah suatu pola
atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau
kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat di capai dengan
lebih efektif dan efisien.
2.3 Model-Model
Pembelajaran Penjas
Model Pembelajaran Penjas Model
pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih
banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini,
model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai pilihan guru untuk melihat
manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut
sebagai orientasi. Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas
untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.
2.3.1
Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement
education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika
Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya
didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi
konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana
tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep
keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut,
merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga
gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut. Dari setiap aspek
gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan
pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan
eksploratori (Logsdon et al., 1984). Menurutnya, dalam model pendidikan
gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika
menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada
dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu
kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa
hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan
jasmani. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu
dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk
mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut
dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan,
bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup kurikulum
pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan dan senam
kependidikan.
Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa
model pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim
tentang transfer belajar‖ dan juga mengakibatkan menurunnya
waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran
konsep gerak. Kritik lain telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk
mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan
keterampilan berolahraga (Dauer and Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980).
2.3.2
Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak
membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical
Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model
pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness
education (Steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa
dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara
melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan
tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar anak
dan remaja tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas
fisiknya menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di
sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya.
Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut
model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan
aktivitas fisik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik
meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan
keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik.
Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar
dalam menerapkan model kebugaran ini.
2.3.3
Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya
diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh
Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary
Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport
Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang
berjudul Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education.
Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran
penjas. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan
bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh
para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia
melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering tidak lengkap
dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya sering terabaikan.
Para guru lebih senang mengajarkan
teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya.
Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak
sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai
keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan
pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. Dalam pandangan Siedentop,
pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan
perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam
kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan
dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum
memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan
pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.
2.3.4
Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut
Davidson dan Warsham “Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang
berefektifitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan
akademik”. Slavin menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu model
pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur
kelompok heterogen”. Jadi dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa
bekerja sama dengan kelompoknya untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan
begitu siswa akan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri dan berusaha
menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada
mereka.
Tujuan
model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan
siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta pengembangan
keterampilan sosial. Johnson & Johnson menyatakan bahwa tujuan pokok
belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan
prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.
Ciri-ciri
model pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1) Siswa dalam kelompok
bekerja sama menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan
dicapai.
2) Kelompok dibentuk
secara heterogen.
3) Penghargaan lebih
diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu.
Pada model pembelajaran kooperatif memang ditonjolkan
pada diskusi dan kerjasama dalam kelompok. Kelompok dibentuk secara heterogen
sehingga siswa dapat berkomunikasi, saling berbagi ilmu, saling menyampaikan
pendapat, dan saling menghargai pendapat teman sekelompoknya.
2.3.5
Model Pendekatan Taktis
Pendekatan
taktis mendorong siswa untuk memecahkan masalah taktik dalam permainan. Masalah
ini pada hakikatnya berkenaan dengan peberapan keterampilan teknik dalam
situasi permainan. Dengan demikian siswa makin memahami kaitan antara teknik
dan taktik. Keuntungan lainnya, pendekatan ini tepat untuk mengajarkan
keterampilan bermain sesuai dengan keinginan siswa. Tujuan utama dari
pendekatan taktis dalam pengajaran permainan adalah untuk meningkatkan
pemahaman siswa terhadap konsep bermain.
Pendekatan
taktik bermain membantu memikirkan guru untuk menguji kembali pandangan
filosofis mereka pada pendidikan bermain. Model mengajar ini memungkinkan siswa
untuk menyadari keterkaitan antara bermain dan peningkatan penampilan bermain
mereka. (Subroto 2001 : 4) menjelaskan tentang tujuan pendekatan taktis secara
spesifik yaitu untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep bermain
melalui penerapan teknik yang tepat sesuai dengan masalah atau situasi dalam
permainan.
Model
pembelajaran permainan taktikal menggunakan minat siswa dalam suatu struktur
permainan untuk mempromosikan pengembangan keterampilan dan pengetahuan taktikal
yang diperlukan untuk penampilan permainan. Sedangkan pembelajaran masuk ke
dalam alam pikir siswa, sehingga terbentuk struktur pengetahuan tertentu.
Pembelajaran pendekatan taktikal dalam pendidikan jasmani adalah bagian dari
pembelajaran kognitif.
Pada
model pembelajaran permainan taktikal, guru merencanakan urutan tugas mengajar
dalam konteks pengembangan keterampilan dan taktis bermain siswa, mengarah pada
permainan yang sebenarnya. Tugas-tugas belajar menyerupai permainan dan modifikasi
bermain sering disebut juga “bentuk-bentuk permainan”. Penekanannya pada
pengembangan pengetahuan taktikal yang memfasilitasi aplikasi keterampilan
dalam permainan, sehingga siswa dapat menerapkan kegiatan belajarnya saat
dibutuhkan. Pada intinya adalah siswa dapat mengembangkan keterampilan dan
taktis bermain secara berkesinambungan.
Dalam
strategi pembelajaran pendekatan taktis yaitu lebih menekankan pada konsep
game-drill-game. Game yaitu bermain, siswa dituntut untuk bermain dengan konsep-konsep
yang yang diberikan oleh guru dan memahami tentang permainan itu. Drill yaitu
pengulangan, guru harus lebih teliti melihat permainan siswanya dan apabila
terjadi kesalahan dalam tugas gerak maka guru menghentikan pembelajaran dan
memberikan contoh gerakan yang benar kemudian siswa melakuakn tugas gerak.
Kemudian game yaitu bermain, setelah melakukan pengulangan atau drill siswa
kembali melakukan permainan dengan perubahan tugas gerak yang telah dilakukan
pada tugas drill. Pembelajaran melalui model pembelajaran pendekatan taktis
membiasakan siswa untuk melatih kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pembelajaran
taktikal mengutamakan pada pemanfaatan “masalah-masalah taktikal” sebagai
perantara dan tujuan pembelajaran. Guru harus mampu menunjukan masalah-masalah
taktis yang diperlukan dalam situasi bermain. Sedangkan bagi siswa, sangat
penting untuk mengenali posisi bermain di lapangan secara benar,
pilihan-pilihan gerak yang mungkin dilakukan, dan situasi-situasi bermain yang
dihadapi siswa.
Kesadaran
akan taktik, menggunakan dasar kemampuan untuk menekankan masala-masalah taktik
yang muncul selama permainan. Hal itu sekaligus dapat memilih respons tersebut,
mungkin terletak pada keterampilan gerak dalam penguasaan bola, seperti passing,
dribling dan shooting dalam permainan bola tangan. Tujuan utama dalam
mengajarkan olahraga di dalam pendidikan jasmani adalah untuk kesenangan,
keterlibatan aktif, dan peningkatan keterampilan siswa yang bedampak positif
terhadap hidupnya. Dalam proses pembelajaran, tujuan tersebut akan tercapai dan
tidaknya tergantung pada bagaimana metode/ pendekatan keterampilan mengajar
yang diterapkan guru kepada siswa dalam mengajar.
Selama
ini dalam proses pengajaran pendididikan jasmani di sekolah masih ada guru yang
menganut sistem pendekatan yang bersifat tradisional, yang menekankan
pengajaran hanya pada penguasaan keterampilan atau teknik dasar suatu cabang
olahraga. Meskipun format/ konsep pengajaran seperti itu memang bisa
meningkatkan penguasaan teknik siswa, tetapi kekurangannya adalah bahwa
keterampilan teknik dasar diajarkan kepada siswa sebelum siswa mampu memahami
keterkaitan atau relevansi teknik-teknik dasar tersebut dengan penerapannya di
dalam permainan yang sebenarnya, akibatnya sifat kesinambungan dari
implementasi teknik dasar ke dalam permainan menjadi terputus. Untuk
menghindari hal tersebut sekarang sudah dikenal suatu sistem pendekatan yang
dirasakan lebih cocok untuk diterapkan dalam mengajar penjas terutama yang
terkait dengan mengajar untuk olahraga-olahraga yang bersifat permainan yaitu
sistem "pendekatan taktis".
Pengajaran
melalui pendekatan taktis ini berusaha menghubungkan kemampuan taktis bermain
dan keterampilan teknik dasar dengan menekankan pemilihan waktu yang tepat
untuk melatih teknik dasar dan aflikasi dari pada teknik dasar tersebut ke
dalam keterkaitannya dalam kemampuan taktis bermain, sehingga mampu merangsang
siswa untuk befikir dan menemukan sendiri alasan-alasan yang melandasi gerak
dan penampilannya (peformance). Selain itu sistem pendekatan taktis ini
dapat dipakai untuk menghindari dari ketidak tercapaiannya tujuan/ target
kompetensi yang diajarkan karena minimnya pasilitas yang ada pada sekolah,
ataupun dikarenakan alokasi waktu yang sedikit yang diberikan untuk mata
pelajaran penjas ini.
Dalam
pelaksanaannya pendekatan taktis ini memanfaatkan bentuk-bentuk permaianan yang
dimodifikasi. Penulis contohkan di sini misalnya pada permainan bola voli,
bentuk modifikasinya seperti ukuran lapangan diperkecil, tinggi tiang net
diperpendek, jumlah pemain bisa dikurangi atau ditambah. Modifikasi ini
disesuaikan dengan kemampuan keterampilan siswa dan sarana yang ada.
2.3.6
Model Inkuiry
Model
pembelajaran inkuiri diciptakan oleh Suchman (1962) dengan alasan ingin memberikan
perhatian dalam membantu siswa menyelidiki secara independen, namun dalam suatu
cara yang teratur. Ia menginginkan agar siswa menanyakan mengapa sesuatu
peristiwa itu terjadi, memperoleh dan mengolah data secara logis, dan agar
siswa mengembangkan strategi intelektual mereka untuk mendapatkan sesuatu yang
baru. Inkuiri adalah suatu pencarian makna yang mensyaratkan seseorang untuk
melakukan sejumlah operasi intektual untuk menciptakan pengalaman. Pada
prinsipnya model inkuiri merupakan model yang menekankan pembelajaran yang
berpusat pada siswa di samping juga pada guru, dan yang terutama dalam model
inkuiri adalah siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam menyelesaikan
suatu topik permasalahan hingga sampai pada suatu kesimpulan. Latihan inkuiri
dapat diberikan pada setiap tingkatan umur (mulai dari Taman Kanak-kanak dan
seterusnya), namun tentunya dengan tingkat kesulitan masalah yang berbeda.
Selain
itu Metzler (2000:333) juga mengemukakan pendapatnya bahwa: “The
inquiry model can be effective at all grades if the levels of
cognitive and psychomotor problems given to student match their
developmental readiness.” Maksudnya adalah model inkuiri bisa efektif
untuk seluruh tingkatan kelas seandainya tingkat permasalahan kognitif dan
psikomotor yang diberikan pada siswa sesuai dengan kesiapan perkembangannya.
Masih menurut pendapat Metzler (2000:312) bahwa: “Inquiry
teaching model is used in many schools in the United States and
abroad, most often at the elementary grades.” Jadi model
pembelajaran inkuiri ini digunakan oleh banyak sekolah di Amerika Serikat dan
negara lainnya pada tingkat SD.
Dari
pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model
inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah
dengan waktu yang relatif singkat. Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan
intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional.
2.3.7
Direct Instruction/ Model Pengajaran
Langsung
Dasar
teori model ini mengambil filosofi dasar dari aliran behavioralistik dimana
stimulus dan respon memegang peranan penting. Siswa diajarkan untuk melakukan
kegiatan yang benar dengan kontrol yang ketat. Model ini menuntut siswa
melaksanakan apa yang direncanakan oleh guru dengan konsekeuensi adanya
“reward”.
Guru
adalah model yang baik dan harus sangat menguasai materi yang diberikan kepada
siswa. Adalah sebuah kesalahan ketika menempatkan guru sebagai dewa yang tidak
pernah salah. Cara ini akan sangat baik ketika tingkat penguasaan guru terhadap
materi, siswa, lingkungan, skenario sangat-sangat “exelence”.
Arti
mengajar bagai guru dan belajar bagi siswa. a) Bagi guru: Guru adalah sumber
utama dari semua perencanaan yang ada, Guru menentukan isi, tempat, aktivitas
belajar dan peningkatan pembelajaran, Guru harus dapat mentranser ilmu dengan
efektif dan efisien, Guru harus dapat memanfaatkan semua sumber yang ada untuk
terlaksananya proses belajar, Guru disamping merencanakan juga merupakan
pelaksana dari perencanaan yang diimplementasikan kepada siswa. b) Bagi siswa:
Siswa belajar dari hal yang mudah ke sukar, sederhana ke komplek, Siswa harus
dengan jelas mengerti tugas yang menjadi bahan ajar dan dipelajari termasuk
kreteria keberhasilan, Belajar merupakan konsekuensi yang akan ada “reward”,
Siswa membutuhkan banyak bantuan dalam mempelajari bahan yang dipelajari, Dalam
belajar siswa berhak untuk mendapatkan umpan balik agar terjadi proses belajar
dengan benar.
2.3.8
Model Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial
A.
Model Hellison
Salah
satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model
rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudul Teaching
Responsibility Through Physical Activity.
Pembelajaran
pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu
secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu
self-actualization dan social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai
model humanistic. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi
nama level of affective development.
Tujuan
model Hellison ini adalah meningkatkan perkembangan personal dan
responsibility siswa dari irresponsibility, self control,
involvement, self direction dan caring melalui berbagai aktivitas
pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya
ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah
pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari akan beberapa kritik
yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk social dan personal dari
model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan
subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran
tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain.
Model
Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa (self-responsibility)
untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah
dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa: perubahan
perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui
penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat mungkin
terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan
merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan
Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang
baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”.
Melalui
model ini guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas
untuk kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan
ekstrinsik. Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya
sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk
membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi
(self-responsibility) melalui pendidikan jasmani.
1.
Tanggung Jawab Pribadi
Rasa tanggung jawab pribadi yang
dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level 0, 1, 2,
3, dan level 4.
a)
Level 0: Irresponsibility
Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas
perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan
mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Contoh
lain misalnya: di rumah: menyalahkan orang lain di tempat bermain: memanggil
nama jelek terhadap orang lain di kelas: berbicara dengan teman saat guru
sedang menjelaskan dalam Penjas: mendorong orang lain pada saat mendapatkan
peralatan olahraga.
b)
Level 1: Self-Control
Pada
level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali.
Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain.
Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh.
Sebagai contoh misalnya: di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari
saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya. di tempat bermain: berdiri dan
melihat orang lain bermain di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat
untuk berbicara dengan temannya. dalam Penjas: berlatih tapi tidak
terus-menerus.
c) Level
2: Involvement
Anak
didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras,
menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk
belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya: di rumah:
membantu mencuci dan membersihkan piring kotor di tempat bermain: bermain
dengan yang lain di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang
diberikan dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan
tidak bisa.
d) Level 3:
Self-responsibility
Pada
level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya.
Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh
gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang
harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering
disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu
kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada
level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi
daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa
pada level tiga ini misalnya: di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang
menyuruh di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh di
kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya dalam
Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar
pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
e) Level
4: Caring
Anak
didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka
tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level
ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi
partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh
gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya: di rumah: membantu
memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi. di tempat bermain:
menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut
sama-sama bermain. di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan
masalah-masalah pelajaran. dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama
dengan siapa saja dalam Penjas.
B.
Model Canter’s Asertif
Selain
model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam
pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk
mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model
disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model
pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline.
Perbedaan
model yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada
motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model
Hellison lebih menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan
bahwa: siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan
penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter
lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan
dorongan, termasuk konsekuensi.
Model ini
didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
a) Semua siswa dapat
berperilaku baik
b) Pengawasan yang ketat
atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk
diberikan.
c) Harapan atau
keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan
perkembangannya (seperti dibuat dalam peraturan) harus diberitahukan kepada
siswa.
d) Guru harus mengharapkan
siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus mendapat dukungan dari
orang tua siswa, guru lain, dan kepala sekolah.
e) Tingkahlaku siswa
yang baik harus segera didukung atau dihargai sementara tingkahlaku yang tidak
baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
f) Konsekuensi
logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada
siswa.
g) Konsekuensi harus
dilaksanakan secara konsisten tanpa bias.
h) Komunikasi verbal dan
non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara guru dan siswa.
i)
Guru harus melatih keinginan-keinginan atau harapkan-harapan dan konsekuensi
secara mental dengan konsisten kepada siswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar