A. Model Hellison
Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudulTeaching Responsibility Through Physical Activity. Pembelajaran pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai model humanistic. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of affective development. Tujuan model Hellison ini adalah meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility, self control, involvement, self direction dan caring melalui berbagai aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk social dan personal dari model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain. Model Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa (self-responsibility) untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa: perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat mungkin terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Melalui model ini guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui pendidikan jasmani.
1. Tanggung Jawab Pribadi Rasa tanggung jawab pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level 0, 1, 2, 3, dan level 4. a) Level 0: Irresponsibility Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Contoh lain misalnya: di rumah: menyalahkan orang lain di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan dalam Penjas: mendorong orang lain pada saat mendapatkan peralatan olahraga. b) Level 1: Self-Control Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya: di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya. di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya. dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus. c) Level 2: Involvement Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya: di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor di tempat bermain: bermain dengan yang lain di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa d) Level 3: Self-responsibility Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya: di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah. e) Level 4: Caring. Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya: di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi. di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain. di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran. dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas.
2) Strategi pembelajaran
Terdapat tujuh strategi pembelajaran yang digunakan Hellison dalam mengajar tanggung jawab pribadi melalui penjas, yaitu:
a) Penyadaran (awarness)
b) Tindakan
c) Refleksi
d) Keputusan pribadi
e) Pertemuan kelompok
f) Konsultasi
g) Kualitas pengajar
<a href="https://www.popads.net/users/refer/1397159"><img src="http://banners.popads.net/250x250.gif" alt="PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork" /></a>
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.
3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi focus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain
B. Model Canter’s Asertif
Selain model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline. Perbedaan model yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model Hellison lebih menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan bahwa: siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan dorongan, termasuk konsekuensi.
1) Model ini didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
a) Semua siswa dapat berperilaku baik
b) Pengawasan yang ketat atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk diberikan.
c) Harapan atau keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan perkembangannya (seperti dibuat dalam peraturan) harus diberitahukan kepada siswa.
d) Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus mendapat dukungan dari orang tua siswa, guru lain, dan kepala sekolah.
e) Tingkahlaku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai sementara tingkahlaku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
f) Konsekuensi logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada siswa.
g) Konsekuensi harus dilaksanakan secara konsisten tanpa bias.
h) Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara guru dan siswa.
i) Guru harus melatih keinginan-keinginan atau harapkan-harapan dan konsekuensi secara mental dengan konsisten kepada siswa.
2) Contoh harapan yang dituangkan dalam bentuk peraturan dikembangkan di Riverside Elementary School oleh Bell (1995).
1) menghargai orang lain (respect for others)
2) bermain jujur (play fair)
3) bermain dengan tidak membahayakan (play safely)
4) lakukan yang terbaik (do your best)
5) ikuti petunjuk guru (follow directions)
3) Contoh konsekuensi (Hill, 1990) sebagai berikut:
1) peringatan
2) time-out 5 menit
3) time-out 10 menit
4) memanggil orang tua siswa
5) mengirim siswa ke kepala sekolah
4) Ciri Keberhasilan Model Hellison dan Canter Assertive.
Pertanyaan yang sering muncul dilontarkan oleh para pendidik Penjas adalah model mana yang paling efektif digunakan? Apakah model yang didasarkan pada motivasi ekstrinsik (assertive discipline) atau motivasi instrinsik (levels of affective development)? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena nampaknya keberhasilan pembinaan disiplin bukan terletak pada jenis model yang digunakan akan tetapi terletak pada bagaimana karakteristik model yang digunakan tersebut. Paling tidak ada empat karakteristik model pembinaan disiplin yang dapat dikatakan berhasil, yaitu sebagai berikut:
a) Siswa betul-betul memahami dan mengerti pelaksanaan sistem pembinaan disiplin berikut alasan-alasan mengapa pembinaan disiplin perlu diterapkan. Oleh karena itu hendaknya sistem pembinaan disiplin dijelaskan secara teliti dan hati-hati kepada siswa. Selanjutnya diikuti oleh contoh-contoh yang jelas dan latihan-latihan secara memadai yang dimulai dari setiap awal tahun ajaran. Sehingga siswa akan mengerti mengapa pembinaan disiplin sangat penting dan siswa juga mengerti bagaimana pembinaan disiplin itu diterapkan.
b) Guru secara konsisten menerapkannya. Sekali kegiatan rutin dan peraturan diterapkan, maka guru harus terus menerapkan dan menggunakan standar yang sama dari hari ke hari, sehingga siswa akan mengerti dan memahami betul apa-apa yang sebenarnya diharapkan (expectations) oleh gurunya. Hal ini sangat mudah dikatakan tetapi sangat sulit diterapkannya. Guru lebih cenderung menerapkan sistem pembinaan disiplin ini hanya pada awal-awal pertemuan saja. Misal: pada awal-awal pertemuan, pada saat guru bilang “stop”, semua siswa meletakkan bola yang dipegangnya. Namun demikian, setelah beberapa pertemuan, seorang siswa tidak meletakkan bola setelah gurunya bilang “stop” dan guru mengabaikannya. Dalam contoh itu, guru kurang konsisten dalam menerapkan sistem pembinaan disiplin. Secara bertahap, bagaimanapun, hal ini menjadi bertambah banyak: dua siswa, tiga siswa, enam siswa yang akhirnya pembinaan disiplin mejadi pudar kembali.
c) Sistem pembinaan disiplin itu didukung oleh kepala sekolah dan guru kelas. Pada saat tertentu mungkin guru Penjas akan menemukan siswa yang tidak disiplin; siswa tidak mau menerapkan peraturan dan penghargaan maupun “time out” tidak berpengaruh terhadap disiplin siswa tersebut. Dalam kesempatan itu, guru Penjas memerlukan bantuan kepala sekolah dan guru kelas. Mereka mungkin menyadari dan mengetahui mengapa siswa berbuat seperti itu dan bagaimana strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Oleh karena itu maka salah satu konsekuensi bagi siswa yang berperilaku menyimpang adalah harus berhadapan dengan kepala sekolah yang mungkin akan dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh guru Penjas.
d) Sistem pembinaan disiplin itu harus didukung oleh orang tua siswa. Seperti halnya bantuan kepala sekolah dan guru kelas, manakala orang tua siswa mengetahui dan mendukung sistem pembinaan disiplin yang digunakan oleh guru Penjas, maka orang tua siswa akan cenderung mau membantu guru Penjas dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa dari orang tua tersebut.
5) Menghadapi Kenyataan Pembahasan dalam uraian sebelumnya lebih banyak menyoroti bagaimana mengurangi masalah disiplin siswa. Namun demikian, kebanyakan guru, bahkan dalam situasi yang ideal sekalipun, mungkin harus merasakan dirinya terpaksa menerima kenyataan mendapatkan seorang atau beberapa siswa yang kurang disiplin. Sudah barang tentu hal ini akan menimbulkan perasaan marah atau menyakitkan bagi gurunya. Sehubungan dengan itu ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh para guru untuk mengurangi rasa kecewa atau marah tersebut sehingga bisa menguntungkan baik bagi guru maupun siswanya:
a) Mencoba menyadari bahwa perilaku menyimpang bukan sifat perorangan: semua orang dalam kondisi tertentu bisa saja berbuat hal yang sama. Untuk itu cobalah untuk tidak marah atau menyesal: ambilah nafas dalam-dalam dan selanjutnya perlakukan anak tersebut sebagaimana mestinya.
b) Lakukan pendekatan secara pribadi. Dari pada guru berteriak-teriak memarahi siswa yang tidak disiplin dari kejauhan sementara siswa yang lainnya menonton dan mendengarkan kejadian tersebut, maka lebih baik guru melakukan pendekatan secara pribadi. Dekati siswa yang kurang disiplin tersebut, panggil ke pinggir lapangan, dan lakukan interaksi singkat sehingga siswa lain tidak mengetahuinya dan tetap melakukan aktivitas belajar sebagaimana mestinya. Kalau pilihan yang ke dua itu sering dilakukan oleh gurunya, maka bukan hal yang mustahil siswa akan mempunyai pikiran yang positif terhadap lingkungan belajar Penjas yang diperolehnya di sekolah.
c) Penjelasan kepada siswa. Gunakan nama siswa untuk memanggil siswa itu, jelaskan kepada siswa peraturan yang dilanggar secara perlahan dan menyakinkan dan berilah kesempatan untuk berpikir. Beri kesempatan untuk megemukakan pendapatnya, perhatikan pendapat siswa dengan penuh perhatian dan peghargaan, dan berusaha untuk mengerti apa maksudnya. Setelah selesai interaksi, guru menyimpulkan sambil memberitahu konsequensi yang harus dilakukan akibat penyimpangan perilaku yang diperbuatnya.
d) Usahakan jangan pernah marah kepada siswa dalam situasi dan kondisi apapun. Interaksi yang tenang dan perlahan jauh lebih efektif daripada marah. Bahkan meskipun siswa secara jelas melakukan perilaku menyimpang, guru harus menjaga harga dirinya. Siswa yang sakit hati, marah, atau frustasi karena melakukan kesalahan, harus disadarkan oleh gurunya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah pelanggaran terhadap peraturan, namun hal itu wajar saja apabila dilakukan secara tidak sadar atau lupa.
Rekomendasi :
Download RPP BOla Besar https://p3njas.blogspot.co.id/2017/10/rpp-kurikulum-2013-revisi-2016-bola.html
P3k
https://p3njas.blogspot.co.id/2017/06/download-kumpulan-tugas-akhir-ppg-p3k.html
Beladiri
https://p3njas.blogspot.co.id/2017/04/rpp-aktivitas-beladiri-kurikulum-2013.html
Kebugaran Jasmani
https://p3njas.blogspot.co.id/2017/03/rpp-kebugaran-jasmani-ix.html
Rekomendasi :
Download RPP BOla Besar https://p3njas.blogspot.co.id/2017/10/rpp-kurikulum-2013-revisi-2016-bola.html
P3k
https://p3njas.blogspot.co.id/2017/06/download-kumpulan-tugas-akhir-ppg-p3k.html
Beladiri
https://p3njas.blogspot.co.id/2017/04/rpp-aktivitas-beladiri-kurikulum-2013.html
Kebugaran Jasmani
https://p3njas.blogspot.co.id/2017/03/rpp-kebugaran-jasmani-ix.html